Nibor Ticoalu: TAHUNA, KOTA KECIL YANG MISTERIUS

Dari kapal Marin Teratai

8 hari menjelang usainya 2010

Seperti tahun-tahun sebelumnya, sejak 15 Desember, pelabuhan Manado selalu sesak oleh lautan manusia yang mudik ke Tahuna, Siau/Tagulandang, serta Talaud, guna menyambutNatal & Tahun Baru. Mulai dari pedagang, pelajar/mahasiswa, pegawai, pejabat, buruh, hingga Tentara, berduyun-duyun dengan beragam jinjingan, dari koper lux, hingga dos-dos. Pemandangan yang sangat lazim.
            Berbekal tiket ‘alas,’ sayapun berjejalan antara ratusan penumpang Marin Teratai, mencari sejengkal ruang tuk habiskan malam menuju Tahuna. Dan tepat di bawah cerobong yang bersebelahan dengan wc umum yang suhunya bagaikan oven yang tengah ‘ON,’ saya hempaskan bokong jumbo ini dengan lega (sambil berharap hujan tak turun menyapa malam ini)
            Jam digital di Nokia 1200 saya menunjukan pukul 20.10 saat Marin teratai beringsut perlahan, membelah kesunyian malam. Geliatnya menyisakan gelombang kecil dan buih putih bagi wargaManado. Di ujung geladak, beberapa penumpang melambai pada para pengantarnya. “Selamat tinggal Sulawesi Utara..!” Kelakar salah satu anak muda berambut gondrong.
            Hampir 10 buah mercon dilesatkan salah satu penumpang ke udara. Percikan api warna-warni memendar anggun di kegelapan langit Manado. Melepas keberangkatan Marin Teratai yang meluncur anggun ke satu noktah kecil pada peta Sulawesi Utara. Sebuah kota yang misterius. Tahuna.
            Misterius…? Ada apa sih dengan Tahuna..? Vampire, voodoo, zombie? Ah, tidak ada apa-apa dengan Tahuna. Bahkan sama biasanya dengan 14 tahun lalu, saat pertama kali saya menginjakan kaki di sana (hehehe,…koq mirip Neil Armstrong wkt pertama kali menginjakan kakinya di bulan ya..). Tidak ada perubahan significan, selain kantor Bupati baru di bekas pekuburan, di Kelurahan Soataloara.
Keisengan saya (mungkin juga kebodohan) kembali mengembara. Menyeruak mencari ruang jawab.

            Jika kita melihat seorang bocah kurus, lusuh, dan tampak tak terurus, kita akan berasumsi kalo si-bocah berasal dari keluarga tidak mampu (sebuah paradigma umum bukan..??). Tapi kita pasti terhenyak saat tahu kalau si-bocah justru berasal dari keluarga kaya. Tak ayal, kita akan menyesalkan orangtua si-bocah yang menelantarkannya. Membiarkannya hidup bagai gembel, yang merana dalam kemakmuran.
            Begitulah gambaran kota Tahuna. Kota kecil yang memiliki hampir semua kriteria untuk memperoleh predikat makmur. Karena ditinjau dari potensi Sumber Daya Alam, Tahuna bukanlah gurun pasir yang hanya dipenuhi kalajengking dan ular derik. Tahuna punya jutaan batang kelapa, cengkih, pala. Itupun masih harus ditambah dengan potensi hasil laut yang beragam dengan kelimpahan. Rumput laut, Teripang, serta ikan-ikan ekonomis penting yang mungkin telah banyak ’dirampok’ negara tetangga.
            Selain itu, Tahuna juga punya pesona alam yang tidak murah untuk bisa di jual sebagai object wisata. Tinggal kepiawaian memolesnya. Dan yang tak kalah penting, Tahuna punya generasi berkualitas ’berlian’ yang tersebar di segala penjuru mata angin tanah air. Mulai Profesor, Doktor, dan Insinyur. Tinggal ’tunjuk satu bintang’.
Malahan, dari kota Tahuna sendiri telah ’lahir’ beberapa lulusan yang dikandung sebuah politeknik dengan staff pengajar yang biasa ’memoles’ para Master. Coba tanya orang Tahuna, siapa yang tak kenal Politeknik Nusa Utara. Mungkin hanya balita.
Dengan semua fakta tersebut, ironisnya, saya justru melihat Tahuna bagaikan bocah ingusan yang lusuh, kurus dan tak terurus. Laksana kastil kusam di tengah pulau berselubung kabut, dengan lolongan srigala di kejauhan. Penuh misteri.
Tapi Tahuna akan tetap sebagai Tahuna. Kota kecil Kabupaten yang dengan mudahnya diperoleh produk-produk negara tetangga, Philiphina. Kota kesayangan wanita tercinta yang telah melahirkan 2 gadis kecil, yang memberi keindahan dalam hidup saya. Kota nostalgia, dimana saya ditahbiskan di depan altar Gereja.

Bagian Akhir

Sambil berdiri di pinggir pantai dekat pelabuhan, saya membayangkan Mahatma Gandhi berdiri di samping saya.
”Alam Tahuna mampu mencukupi kebutuhan tiap penduduknya, tapi.....”  Bisiknya
Ah, lamunan saya dikejutkan suara tukang ojek yang menawarkan jasanya. Saya menolak halus, dan kembali pada khayalan tentang kata-kata Mahatma Gandhi yang tidak selesai. Lagi-lagi sebuah misteri. Yang terkandung dalam kalimat sesudah kata ”Tapi.......” dari petuah seorang Mahatma Gandhi.


(seandainya Tahuna bisa bicara, ia pasti tahu misteri yang menyelubunginya. Misteri kenapa ia tampak begitu kurus dan lusuh. Padahal,.......)






Sumber: http://www.robinticoalu.com/2010/12/tahuna-kota-kecil-yang-misterius.html

0 komentar:

Posting Komentar